DAFTAR ISI
halaman
KATA PENGANTAR............................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................ ii
I.
PENDAHULUAN
II.
PEMBAHASAN
A. Model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
di Indonesia.........................................
1.
Elemen-elemen Pokok MBS.......................................................... 4..................
2.
Bangunan Manajemen Berbasis Sekolah....................................... 11
3. Peran
Masyarakatm Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah
Dalam Penyelenggarakan Pendidikan Nasional............................. 13
Dalam Penyelenggarakan Pendidikan Nasional............................. 13
III.
PENUTUP............................................................................................. 18..................
|
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah
membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan
hanya dapat dipecahkan kecuali dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi
perubahan tersebut juga telah membawa manusia ke dalam era persaingan global
yang semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka sebagai
bangsa kita perlu terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya
manusianya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan
kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan
efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa ini kalah bersaing
dalam menjalani era globalisasi tersebut.
Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya
perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama
strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented.
Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input
pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat
belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga
kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan ( sekolah) akan
dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan.
Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education
production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga
pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan
industri.
Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih
bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat.
Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak
terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah).
Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa komleksitasnya cakupan
permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh
dan akurat oleh birokrasi pusat.
Diundangkannya UU No. 22 tentang Pemerintahan Daerah
pada hakikatnya memberi kewenangan dan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan diberikan kepada daerah kabupaten dan kota berdasarkan asas desentralisasi
dalam wujud otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab.
Otonomi luas adalah kewenangan dan keleluasan
pemerintah dalam menyelenggarakan seluruh bidang kehidupan kecuali politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fisikal, agama serta bidang
yang diterapkan oleh peraturan pemerintah (pasal 7). Otonomi luas secara
menyeluruh penyelenggaraan pemerintahan mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Kewenangan daerah kabupaten dan kota, sebagaimana
dirumuskan dalam pasal 11, mencakup semua bidang pemerintahan, yakni pekerjaan
umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri
dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi serta
tenaga kerja. Dengan demikian, jelaslah bahwa kebijakan pendidikan berada
dibawah kewenangan daerah kabupaten dan kota.
Ketentuan otonomi daerah yang dilandasi oleh
undang-undang nomor 22 dan nomor 25 tahun 1999, telah membawa perubahan
dalam berbagai didang kehidupan termasuk penyelenggaraan pendidikan. Bila
sebelumnya manajemen pendidikan merupakan wewenang pusat, dengan berlakunya
undang-undang tersebut, kewenangan tersebut dialihkan kepemerintah kota dan
kabupaten. Akibat desentralisasi pendidikan menyebabkan terjadinya
reformasi manajemen persekolahan. Perubahan manajemen sekolah yang
signifikan dan mendasar adalah diterapkannya manajemen berbasis sekolah atau
School-Based Manajement. Pendekatan MBS merupakan salah satu sistem yang
dikembangkan dalam rangka pemberia kewenangan luas kepada sekolah. Pendekatan
ini berpijak pada anggapan dasar bahwa dengan memberikan kewenangan dan
kemandirian kepala sekolah akan menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam
pengelolaan sekolah. Penerapan MBS akan meningkatkan partisipasi warga sekolah
(guru, siswa, staf, dan masyarakat) dalam proses persekolahan sehingga pada
gilirannya meningkatkan akuntabilitas sekolah kepada warganya.
Manajemen
berbasis sekolah (MBS) adalah model manajemen yang memberikan otonomi lebih
ke sekolah-sekolah dan meningkatkan keterlibatan langsung dari komunitas
sekolah (kepala sekolah, guru, mahasiswa, staf, orang tua dan masyarakat)
dalam pengambilan keputusan dalam rangka meningkatkan kualitas sekolah di
bawah kebijakan Departemen Pendidikan Nasional (Fadjar 2002). Konsep MBS
telah menarik ahli pendidikan di Indonesia pada akhir 1990-an, dan itu
secara resmi diadopsi sebagai model manajemen sekolah di Indonesia dengan
disahkannya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Konsep
MBS dipilih didasarkan pada paradigma desentralisasi pendidikan yang
diterapkan untuk memecahkan ketidakefektifan dari paradigma pendidikan
sentralistik yang sebelumnya diterapkan di Indonesia.
1.2. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana model manajemen berbasis sekolah di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Model
Manajemen Berbasis Sekolah Di Indonesia
1.
Elemen – Elemen Pokok MBS
1) Makna
Manajemen Berbasis sekolah
Manajemen berbasis
sekolah, sebagai model kebijakan dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia
mengandung beberapa pokok pikiran yang dapat dicermati.
Pertama, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), sebagai pendekatan dalam
manajemen pendidikan merupakan salah satu bentuk desentralisasi pendidikan pada
level sekolah yang intinya adalah memberikan kewenangan kepada sekolah untuk
mengambil keputusan mengenai pengelolaan pendidikan di sekolah yang
bersangkutan. Dalam Undang – undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas,
sebutanya adalah “Manajemen Berbasisi Sekolah/Madrasah”.
Kedua, penerima kewenangan untuk mengambil keputusan di dalam pengelolaan
sekolah bukan Kepala Sekolah seorang diri ( sebagai otoritas/penguasa satuan
pendidikan), melainkan secara kolektif, yaitu Kepala Sekolah bersama
para guru dan dibantu oleh Komite Sekolah. Di negara lain, bahkan
dalam hal tertentu melibatkan wakil siswa, terutama pada jenjang pendidikan
menengah. Penerimaan kewenangan secara kolektif ini tidak berarti
menghilangkan/mengurangi fungsi Kepala Sekolah sebagai pemimpin sekolah yang
sehari-harinya berhak untuk mengambil keputusan di dalam pengelolaan sekolah.
Di dalam proses pengambilan keputusan ( terutama yang menyangkut masalah
strategis atau yang pelaksanaan dan hasilnya menyangkut kepentingan berbagai
pihak ) harus melibatkan pihak-pihak terkait tersebut ( guru dan komite sekolah
). Pengambilan keputusan dan kepemimpinan sekolah itu bersifat partisipatif
dan demokratis.
Ketiga, pemberian kewenangan kepada sekolah dalam kerangka
MBS, harus disertai alokasi sumber daya pendidikan ( terutama alokasi dana)
sesuai kewenangan yang diberikan dan dikelola oleh sekolah sesuai perencanaan
masing-masing sekolah.
Mengenai masalah ini
perhatikan Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 48 ayat (1), Pasal 49 ayat (1)
, (2), dan (3), UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Keempat, ada parameter (batasan-batasan) dalam pelaksanaan MBS oleh satuan
pendidikan ( Kepala Sekolah, guru dibantu komite sekolah ). Parameter tersebut
diantaranya adalah sistem pemerintahan (birokrasi) yang berlaku dan
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Sisdiknas dan aturan-aturan
pelaksanaannya, serta tujuan yang diharapkan dari pelaksanaan MBS yeng tidak
boleh bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.
Kelima, ada akuntabilitas kepada berbagai pihak yang berkaitan dengan (1)
mutu pendidikan, (2) keadilan bagi semua anak didik, (3) efektifitas dan
efisiensi pengelolaan satuan pendidikan. Elemen-elemen MBS tersebut merupakan
elemen pokok yang masih dapat ditambah untuk memperjelas dalam pelaksanaan.
Namun demikian, pengurangan dari elemen tersebut akan mengurangi esensi MBS.
Sungguhpun
elemen-elemen MBS tampaknya sudah jelas dan gamblang, namun masih ada
pertanyaan mendasar yang perlu dijawab, yaitu pengelolaan bidang apa saja dan
seberapa luas lingkupnya yang diberikan kepada sekolah ?
Dari hasil kajian
Umaedi ( 2004 ) di negara-negara lain, terdapat variasi/perbedaan tentang besar
kecilnya kewenangan yang dilimpahkan kepada sekolah. Ada model yang memberikan
kewenangan kepada komite sekolah untuk memberhentikan dan mengangkat kepala
sekolah dan guru, ada yang tidak demikian. Ada model yang menyertakan wakil
siswa untuk duduk dalam komite sekolah dan ada yang tidak sejauh itu. Ada yang
memfokuskan pada kewenangan pada pengelolaan anggaran (budget), ada yang
mensyaratkan kurikulum nasional untuk beberapa mata pelajaran inti, ada yang
tidak. Ada yang mensyaratkan ujian nasional, ada pula yang tidak mensyaratkan
ujian nasional.
Wohlsetter dan Mohrman
( 1994 dan 1997 ) mengemukakan ada empat hal penting yang didesentralisasikan (
kewenangan diberikan) kepada sekolah, yaitu (1) kekuasaan (power) untuk
mengambil keputusan, (2) pengetahuan dan keterampilan, termasuk untuk mengambil
keputusan yang baik dan pengelolaan secara profesional, (3) informasi yang
diperlukan oleh sekolah untuk mengambil keputusan. Semula informasi ini harus
dikirim ke pusat untuk pengambilan keputusan di tingkat pusat, sekarang
sekolah mengumpulkan informasi terutama untuk dijadikan pertimbangan dalam
pengelolaan-pengelolaan sekolah yang bersangkutan, (4) penghargaan atas
prestasi, yang harus ditangani oleh masing-masing sekolah.
Di samping empat hal
tersebut, mereka menambahkan tiga elemen yang dianggap prasyarat yang bersifat
organisasional, yaitu (1) panduan instruksional (pembelajaran), seperti rumusan
visi dan misi sekolah, panduan dari distrik yang memfokuskan pada peningkatan
mutu pembelajaran, (2) kepemimpinan yang mengupayakan kekompakan (kohesi) dan
fokus pada upaya perbaikan/perubahan, (3) sumber daya yang mendukung
pelaksanaan perubahan
a.
Fungsi dan subtansi manajemen berbasis sekolah
Beberapa hal yang tercakup, dalam aspek
fungsi :
-
Planning (perencanaan)
-
Organizing (pengorganisasian)
-
Actualing (pelaksanaan)
-
Controling (pelaksanaan)
-
Evaluationg dan leading
Substansi yang dikelola
pihak sekolah meliputi :
1)
Bidang Tehnis Edukatif
Bidang teknis edukatif
yang sangat penting adalah aspek kurikulum dan implementasinya di sekolah
Beberapa ketentuan yang disebutkan dalam Undang – Undang sistem pendidikan nasional adalah
a)
Standar nasional pendidikan
(isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan)
b)
Standar nasional pendidian
sebagai pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana prasarana dan
pembiayaan
Dari pasal-pasal tentang kurikulum yang
dapat dipahami adalah
a)
Kerangka dasar dan struktur
kurikulum pendidikan dasar dan menengah disusun dan ditetapkan oleh pemerintah
pusat dalam hal isi, proses dan kompetensi lulusan dalam kerangka NKRI
b)
Dalam keranga MBS, kewenangan
diberikan kepada satuan pendidikan bersama komite sekolah
c)
Pada level sekolah, guru
memiliki kewenanggan untuk mengembangkan proses pembelajaran, sesuai dengan
metode yang mereka pilih dan kuasai, serta alat bantu dan sumber belajar yang
dianggap efektif.
2)
Bidang Ketenagaan
Pasal 41 ayat (1),(2),(3)
UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional menyiratkan keterbatasan kewenangan sekolah dengan menyatakan
sebagai berikut :
a)
Pendidik dan tenaga
kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah
b)
Pengangkatan, penempatan dan
penyebaran pendidik dan tenaga kependidkan diatur oleh lembaga yang
mengangkatnya
c)
Pemerintah dan pemerintah
daerah wajib menfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga
kependidikan
3)
Bidang Keuangan
Berkaitan dengan
pendanaan pendidikan ini, UUD 1945 hasil amandemen ke-4 tahun 2002 pasal 31
ayat (1),(2),(4) menjamin dengan menyatakan sebagai berikut :
a)
Setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan
b)
Setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya
c)
Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen (20%) dari APBN serta APBD untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Mempertegas bunyi
pasal 31 ayat (4) UUD hasil amandemen, UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas
pasal 49 ayat (1) menyatakan sebagai berikut :
a)
Dana pendidikan selain gaji
pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada
sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD
b)
Pasal 49 (3) UU No 20 tahun
2003 tentang Sisdiknas menyatakan
c)
Dana pendidikan dri pemerintah
dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentu hibah.
4)
Bidang Sarana dan Prasarana
Penyediaan sarana dan
prasarana merupakan tugas satuan pendidikan (sekolah) tercantum pasa pasal 45
UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas sebagai berikut :
(1) Setiap
satuan pendidikan formal dan informal menyediakan sarana dan prasarana yang
memenuhi kebutuhan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan
potensi fisik, kecerdasan, intelektual, sosial, emosional dan kejiwaan peserta
didik
Pasal 35 UU No 20
tahun 2003 yang berkaitan dengan sarana dan prasarana pada ayat (1) berbunyi :
Standar nasional
pendidikan terdiri atas standar isi,proses, kompetensi luluan, tenaga
kependidkan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian
pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
5)
Bidang Kesiswaan
Siswa atau peserta
didik merupakan komponen yang sangat penting karena menjadi muara dari seluruh
upaya perbaikan komponen-komponen lainnya dalam manajemen pendidikan.
Kepmendiknas RI
Nno.051/V/2002 pasal 3 mengatur tentang penerimaan peserta didik harus
berasaskan berikut ini :
a)
Objektivitas
b)
Transformasi
c)
Akuntabilitas
d)
Tidak diskriminatif
e)
Tidak ada penolakan dalam
penerimaan peserta didik baru
6)
Bidang Administrasi Ketatalaksanaan Sekolah
Merupakan bidang yang
berkaitan baik langsung maupun tidak langsung dengan bidang-bidang terkait
diatas. Secara teknis dilakukan oleh bagian tata usaha sekolah, namun tidak
terlepas dari kewenangan kepada sekolah.
2.
Bangunan Manajemen Berbasis
Sekolah
Banyak guru, kepala
sekolah, bahkan kalangan dinas pendidikan yang melihat kebijakan pembaruan di
bidang pendidikan secara terpotong-potong tidak menyeluruh. Mereka mungkin
tidak salah karena mereka memperoleh dari berbagai sumber, kepentingan dan
kegiatan yang berbeda. Kesan yang timbul seolah-olah banyak sekalik kebijakan
baru yang membuat pusing sekolah. Bagan bangunan MBS dimaksudkan untuk
menghilangkan kesan banyak sekali kebijakanb baru yang seolah-olah berdiri
sendiri-sendiri.
1) Bangunan Segi empat MBS dan daerah lingkaran
a)
Bangunan segi empat MBS merefleksikan proses
pengelolaan pendidikan.
b)
Proses pembelajaran (PBM) digambarkan dalam
bangunana lingkaran dengan garis-garis tebal karena proses ini lebih terfokus,
direncanakan dengan sadar, materi dan metode serta sumber major yang spesifik
dan dengan tujuan untuk mencapai kompetensi yang spesifik pula, sedangkan roses
pendidikan di dalam sebuah sekolah merupakan wadah interasosial yang lebih luas
dan beragam kegiatannya.
c)
Sumber Daya Pendidikan (SDP) merupakan sisi penopang
penting untuk keberhasilan proses pembelajaran maupun prosees pendidikan pada
umumnya pada suatu sekolah
d)
Kurikulum berbasis kompetensi menuntut inisiatif dan
kreativitas guru, bahkan para guru baik secara sendiri atau kelompok dapat
merumuskan silabus dan kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik.
2) Atap Segitiga
Dalam bangunan MBS,
terdapat atap segitiga akuntabilitas yang merujuk kepada standar nasional,
akreditasi sekolah dan evaluasi independen oleh lembaga mandiri.
Kerangka dasar dan
struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah juga berfungsi sebagai standar
nasional karena ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Evaluasi merupakan
bentuk akuntabilitas yang diberikan kepada satuan-satuan pendidikan, termasuk
program-programnya.
Menurut pasal 61 UU
Nomor 20 tahun 2003, sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi.
Sertifikat kompetensi
melalui uji kompetensi pada umumnya sangat populer untuk sekolah kejuruan dan
kursus-kursus serta pelatihan keterampilan tertentu yang bersifa vokasional.
Berdasarkan pasal 61 UU
Nomor 20 tahun 2003, p[ara pengambil kebijakan masih mempunyai ruang untuk
mengatur pelaksanaannya.
3) Lantai Prasyarat (SPM), Fondasi (Kebijakan Pemerintah
Kabupaten/Kota) dan Lahan (Aspirasi Masyarakat)
Kabupaten/Kota) dan Lahan (Aspirasi Masyarakat)
Pelaksanaan MBS yang
berwawasan mutu (MBS) akan sulit diwujudkan bahkan dalam kondisi tertentu tidak
dapat dilaksanakan, kalau pemenuhan standar
pelayanan minimal sekolah (P-SPM-S) tidak dilaksanakan untuk mendukung
sumber daya pendidikan (SDM) yang memadai. Sesuai dengan Kepmendiknas Nomor
044/U/2002, Dewan Pendidikan berperan menampung dan menyalurkan aspirasi
tersebut, dengan fungsinya sebagai pendukung (turut mencari solusi dan
pemecahan masalah), penasehat (pemberi saran), pengawas (ikut mengontrol) dan
mediator (penghubung berbagai pihak untuk membantu pendidikan). Dalam praktik
saling hubungan antarelemen tersebut sungguhpun merupakan parameter, tetapi
pelaksanaannya elastis/fleksibel dan dinamis dan sangat ditentukan oleh
loyalitas serta kesungguhan berbagai pihak terkait terhadap pelaksanaan sistem
yang berlaku
3.
Peran Masyarakat, Dewan
Pendidikan, dan Komite Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan Nasional
Dalam proses pendidikan
ada tiga lingkungan penting yang sangat berpengaruh yaitu keluarga, sekolah dan
masyarakat yang mempunyai sasaran yang sama yaitu anak.
Pembentukan dewan
pendidikan dan komite sekolah tidak terlepas dari upaya mensinergikan dukungan
dan peran serta masyarakat baik yang terdiri dari perorangan, kelompok, tokoh
masyarakat, dunia usaha, organisasi profesi dan organisasi kemasyarakatan
lainnya serta orang tua peserta didik untuk bersama-sama sekolah mengusahakan
tercapainya peningkatan mutu, pemerataan dan efisiensi pengelolaan pendidikan secara
demokratis dan accountable dalam rangka tujuan pendidikan nasional.
a. Peran Serta Masyarakat Menurut UU No. 2 Tahun 1989
Tentang
Sisdiknas
Sisdiknas
Pada Bab XIII
undang-undang No. 2 tahun 1989 pasal 47, ayat (1), (2), dan (3) tentang peran
serta masyarakat disebutkan sebagai berikut :
(1) Masyarakat
sebagai mitra pemerintah berkesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta
dalam penyelenggaraan pendidikan nasional
(2) Ciri khas satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tetap diindahkan
(3) Syarat-syarat
dan tata cara dalam penyelenggaraan pendidikan ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.
Dari pasal 47
ayat 1, 2 dan penjelasan pasal ini jelas, peran serta masyarakat dalam
pendidikan pemaknaannya dibatasi hanya dalam hal penyelenggaraan pendidikan di
luar yang diselenggarakan oleh pemerintah. Artinya, peran serta tersebut
terbatas dalam bentuk penyelenggaraan sekolah swasta.
Satu-satunya
wadah yang memberi kesempatan kepada masyarakat untuk memberikan saran atau
pertimbangan adalah Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN), yang
peranannya dinyatakan dalam Bab XIV pasal 48 ayat 1, 2 sbb :
(1) Keikutsertaan
masyarakat dalam penentuan kebijaksanaan menteri berkenaan dengan sistem
pendidikan nasional diselenggarakan melalui suatu Badan Pertimbangan Pendidikan
Nasional yang beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat dan yang menyampaikan saran,
nasehat, dapemikiran lain sebagai bahan pertimbangan.
(2) Pembentukan
Badan Pertimbangan Nasional dan pengangkatan anggota-anggotanya dilakukan oleh
Presiden.
Dari hal itu,
dapat diketahui bahwa peran serta masyarakat lebih difokuskan pada pendirian
(penyelenggaraan) sekolah swasta.
Konsep bahwa
pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat dan
pemerintah dimaknai secara sempit karena hanya dikaitkan dengan biaya
pendidikan. Rumusan tersebut terdapat pada penjelasan pasal 25 ayat 1 butir 1/
Sementara pasal
25 pada UU No. 2 tahun 1989 ayat 1 butir 1 bunyinya sbb :
(1) Setiap peserta didik
berkewajiban untuk
1. Ikut menanggung biaya penyelenggaraan
pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kwajiban tersebut
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Sekali lagi, tampak
bahwa pengertian tanggungjawab bersama telah dikerdilkan artinya, hanya sebatas
sumbangan biaya pendidikan bagi siswa sekolah negeri, yang bukan pada jenjang
wajib belajar.
b.
Peran Serta Masyarakat menurut UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003
Untuk
memperjelas jaminan hukum terhadap berbagai peran serta masyarakat dalam sistem
pendidikan nasional, memperhatikan pasal-pasal dalam UU No 20 tahun 2003
berikut ini :
a. Berkaitan dengan
kelompok masyarakat dalam pendidikan, bagian kesatu, umum
b. Berkaitan dengan
hak masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan bagian kedua dari Bab XV, pendidikan
berbasis masyarakat, pasal 55 ayat 1 sampai 4
c. Berkaitan dengan
wadah mekanisme untuk mensinergikan peran serta masyarakat secara keseluruhan
c.
Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional RI Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah
Depdiknas
melalui Kepmendiknas No. 044/U/2002 telah mencanangkan pembentukan Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah di seluruh Indonesia.
d.
Beberapa Catatan Tentang Pelaksanaan
Peran Dewan Pendidikan
Dan Komite Sekolah
Dan Komite Sekolah
Beberapa catatan
untuk mendukung peran lembaga-lembaga mandiri tersebut, sebagai berikut :
a). Batasan peran
Dewan pendidikan dan Komite Sekolah
Pelaksanaan
kebijakan menjadi tanggungjwab birokrasi pendidikan di tingkat pusat, provinsi
dan kabupaten/kota, sebagai pasangan kerja Dewan Pendidikan sesuai lingkupnya.
Sedangkan pelaksnaan kebijakan sekolah ada di tangan satuan pendidikan yang
bersangkutan.
Keterlibatan
anggota maupun pengurus baik Dewan Pendidikan maupun Komite Sekolah dalam
melaksanakan tugasnya adalah atas nama lembaga bukan pribadi. Apa yang mereka
lakukan harus dipertanggungjawabkab kepada lembaga dan kalau terdapat
penyimpanan tentu akan dituntut sesuau aturan perundangan yang berlaku :
1)
Hak orang tua siswa
Masalah
yang menyangkut kepentingan orang tua secara bersama/umum dapat disalurkan
melalui Komite Sekolah
2)
Acuan atau Panduan Pembentukan Dewan Pendidikan dan
Komite sekolah yang dikeluarkan mendiknas dengan keputusan No 044/U/2002 sudah
cukup memadai, paling tidak untuk kondisi masyarakat dan sekolah yang sedang
dalam perailah ke arah kemandirian.
3)
Status kelembagaan Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah dan keanggotaannya.
Dewan
pendidikan dan Komite sekolah sebagai lembaga mandiri , keanggotaannya bersifat
terbuka dan suka rela
4)
Sosialisasi Dewan pendidikan dan Komite Sekolah
secara terpadu dengan komponen pembaruan lainnya.
5)
Pembentukan komite sekolah agar dilakukan sebagai
”gayung bersambut” dengan penerapan MBS sesuai pesan pasal 51 UU No. 20 tahun
2003
BAB III
PENUTUP
Manajemen berbasis sekolah
sebenarnya merupakan pengelolaan pendidikan yang berpusat di sekilah dan kepala
sekolah sebagai manager-nya. Oleh karena itu, segala komponen yang ada
di sekolah, seperti kurikulum, sarana dan prasarana, keuanga, ketenagaan,
kesiswaan dan ketatalaksanaan sekolah menjadi substansi yang dikelola oleh
kepala sekolah. Pengelolaan substansi tersebut dilakukan dengan menerapkan
fungsi-fungsi manajemen, seperti perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
pengawasan, evaluasi, dan kepemimpinan. Oleh karena itu, kepala sekolah harus
benar-benar mampu menunjukan kemampuan managerial-nya dalam mengelola
sekolah.
Dalam menjalankan fungsi-fungsi
manajemen tersebut, kepala sekolah dipandu diantaranya oleh undang-undang no 20
tahun 2003 tentang system pendidikan nasional dan peraturan lainnya yang
lebih operasional.
Bangunan MBS bukan merupakan
kumpulan dari beberapa unsure pendidikan, akan tetapi merupakan kumpulan dari
elemen-elemen manajemen pendidikan yang saling mempengaruhi dan melengkapi.
Peningkatan kualitas pendidikan tidak mungkin hanya dicapai oleh sekolah
sendiri dalam lingkaran proses belajar mengajar tanpa melibatkan elemen-elemen
lain yang melingkupinya.oleh karena itu, tugas manager pendidikan dalam
model manajemen berbasis sekolah adalah memberdayakan segala elemen tersebut
untuk mencapai tujuan sekolah.
Manajemen berbasis sekolah merupakan
model kebijakan pengelolaan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk lebih berpartisipasi dan menyelenggarakan pendidikan di
sekolah.model manajemen ini mengakomodasi keyakinan bangsa Indonesia bahwa
pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah ( dalam
hal ini pemerintah ) dan masyarakat. Oleh karena itu, model manajemen berbasis
sekolah meskipun belum dapat diimplementasikan sepenuhnya, merupakan kebijakan
yang pas dengan kondisi Indonesia.
Agar penyelenggaraan pendidikan
menjadi lebih optimal dan terarah, baik undang-undang sistem pendidikan
nasional maupun kepmendiknas tantang dewan pendidikan dan komite
sekolah mengatur peran serta masyarakat. Peran serta ini lebih
terdesentralisasi ke lapisan masyarakat yang paling dekat dengan sekolah.
Sebagai wadah dan bentuk peran serta masyarakat
Dalam
pendidikan, pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah
bukanlah suatu kebijakan yang ekslusif atau terpisah. Hal ini merupakan bagian
dari serangkaian kebijakan pendidikan yang disemangati oleh desentralisasi,
demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas pelaksanaan sistem pendidikan
nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas,
2001. Konsep dan Pelaksanaan dalam
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah. Jakarta: Dikmenum.
Depdiknas, 2001.
Panduan Monitoring dan Evaluasi dalam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah. Jakarta: Dikmenum.
Hasibuan,
Malayu. 2003. Manajemen Dasar, Pengertian dan Masalah. Jakarta: Bumi
Aksara.
Mansoer, Hamdan.
1989. Pengantar Manajemen. Jakarta: P2LPTK.
Mulyasa, E.
2002. Manajemen Berbasis Sekolah Konsep, Strategi dan Implementasi.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Suprihatin dkk,
2004. Manajemen Sekolah. Semarang: UPT UNNES Press.
Nurkolis,
2003. Manajemen Berbasis sekolah
Teori, Model dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo.
Umaedi,dkk.2011.Manajemen
Berbasis Sekolah Jakarta: Universitas Terbuka
M A K A L A H
Tentang
Model Manajemen Berbasis Sekolah
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Tugas Mata Kuliah
Manajemen Berbasis Sekolah
Oleh :
Kelompk 2 :
1.
Saebi
2.
Naiyah
3.
Rini Suhartini
4.
Dedah Rupaedah
5.
Ade mulyati
PROGRAM S1 PGSD
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TERBUKA (UT)
UPBJJ SERANG
2012
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim….Dengan
mengucapkan puji serta syukur yang tidak terhingga kehadirat Illahi Robi,
solawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW atas nikmat dan
kesehatan yang diberikan Allah SWT, maka makalah ini dapat diselesaikan
sebagaimana mestinya.
Makalah ini salah satu tugas individu mata kuliah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Yang menjadi bahasan dalam makalah ini yaitu
tentang Manajemen Berbasis Sekolah ( MBS ). Saya menyadari bahwa penyusunan makalah
ini dapat diselesaikan atas dukungan dan bantuan dari berbagai pihak.
Penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan dan kesalahan dalam penjelasannya bahkan masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu mohon kepada Bapak Tutor atau sahabat-sahabat dan siapa saja yang
dapat memberikan arahan, bimbingan dan kritikan yang bersifat membangun untuk
menuju kearah yang lebih baik
Semoga segala amal baik yang telah diberikan
mendapat balasan yang setimpal dari Allah. SWT. Amin...........!
Serang,
Oktober 2012
Penulis
|
0 Response to "Makalah Manajemen Berbasis Sekolah ( MBS )"
Post a Comment